Makalah kerajaan Syafawi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Persia muncul satu dinasti baru yang kemudian merupakan suatu
kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi Syekh
Ishak Safiuddin (1252 – 1334 M.) dari Ardabil di Azarbaijan. Syekh Safiuddin
beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah itu. Cucunya, Syaikh
Ismail Syafawi dapat mengalahkan dinasti-dinasti lain, terutama kedua suku
bangsa Turki yaitu kambing putih dan kambing hitam. Sehingga Dinasti Safawi
dapat menguasai Persia. Di sebelah barat, Kerajaan Safawi berbatasan dengan
Kerajaan Utsmani, dan di sebelah timur berbatasan dengan India, yang waktu itu
berada dibawah kekuasaan Kerajaan Mughal. Syaikh Ismail berhasil menjadikan
aliran Syi’ah sebagai madzhab yang dianut Negara.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalahnya yaitu :
1.
Apa latar
belakang berdirinya kerajaan Safawi ?
2.
Apa saja
kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan makalahnya yaitu:
1.
Dapat
memahami latar belakang berdirinya kerajaan Safawi
2.
Dapat
mengetahui kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi
BAB
II
PEMBAHASAN
Kerajaan Safawi berdiri sejak tahun 1503-1722
M. Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat syafawiyah,
yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Safi Al-Din. Dan nama Safawi terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu
terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.[1]
Safi Al-Din berasal dari keturunan orang yang
berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah
yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi
(1216-1301 M.) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Karena prestasi dan
ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya
tersebut.
Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah
setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M.
Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan
tasawuf safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi
golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah“. Tarekat yang dipimpin sufi
Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu
dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang
besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar
Ardabil, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya.
Wakil itu diberi gelar “khalifah”.[2]
Suatu agama yang dipegang secara fanatik
biasanya kerap kali menimbulkan keinginan dikalangan penagnut ajaran itu untuk
berkuasa. Karena itu, lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah
menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap
orang yang bermadzhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia politik itu
mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M.). Dinasti
Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan
keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan
penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa
di wilayah itu. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke suatu
tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr,
AK-Koyunlu (domba hitam), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana
Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[3]
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal
diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik
dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara
perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi
gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang
dipimpin dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran
tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan
dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa
diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan
Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putrid Uzun
Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail yang di kemudian hari menjadi
pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M terhadap
Kara Koyunlu, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar
dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan
selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK
Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan
Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan
Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh
bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap
AK Koyunlu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan
Ali bersama saudaranya, Ibrahim dan Ismail, dan ibunya, di Fars selama empat
setengah tahun (1489-1493 M). mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK
Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah
saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan, Ali bersama saudaranya kembali ke
Ardabil. Akan tetapi, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan
menyerang Ali bersama saudara. Dan Ali terbunuh dalam peperangan ini (1494 M).
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada
ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail
beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan
hubungan dengana para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan
yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash
(baret merah).[4]
Di bawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M
pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan AK Koyunlu di Sharur dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha
memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta
mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama
dinasti Safawi. Ia juga disebut Ismail 1.
Ismail I berkuasa selama lebih kurang 23 tahun, yaitu
antara tahun 1501 dan 1524 M. pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas
wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di
Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd
(1504 M), Diyan Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508
M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun
itu, wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan
Sabit Subur (Fortile Crescent).
Tidak sampai disitu, ambisi politik
mendorongnya untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya,
seperti ke Turki Ustmani. Namun, Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang
sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan
Turki Utsmani terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran dekat Tabriz. Karena
keunggulan organisasi militer kerajaaan Ustmani, dalam peperangan ini Ismail I
mengalami kekalahan. Malah Turki Ustmani dibawah pimpinan Sultan Salim dpat
menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani
ke Turki, karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya.
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan
kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail I berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh
kehidupan hura-hura dan berburu. Yaitu terjadinya persaingan segitiga antara
pimpinan suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam
merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Safawi.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus
berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar
Islam, ini terjadi beberapa kali pada zamana pemerintahan Tahmasp I (1524-1576
M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa
tiga raja tersebut, Kerajaan Safawi dalam keadaan lemah. Disamping karena
sering terjadi peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga karena
sering terjadi pertentangan antara kelompok-kelompok di dalam negeri.[5]
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi
setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588
sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka
memulihkan kerajaan Safawi, yaitu:
pertama, berusaha menghilang-kan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan
Safawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggota-anggotanya terdiri dari
budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia
yang telah ada sejak raja Tahmasp I. kedua,
mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani. Untuk mewujudkan perjanjian
ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan
sebagian wilayah Luristan. Disamping itu, Abbas berjanji tidak akan menghina
tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, dan Usman)
dalam khottbah-khotbah jum’at. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu, ia
menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut
berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai
memusatkan perhatiannya ke luar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah
kekuasaannya yang hilang. Pada tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan
Herat. Dari sana, ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah
kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah
kekuasaannya dari Turki Usmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang
berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Abbas I
mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan Usmani itu. pada
tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada dibawah Sultan Muhammad III, pasukan
Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan
kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat dikuasai tahun 1605-1606
M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan
Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas.
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak
kejayaan kerajaan Safawi. Secara politik, ia mampu mengatasi berbagai kemelut
di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut kembali
wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa raja-raja
sebelumnya. Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di
bidang politik. Di bidang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak kemajuan.[6]
1.
Bidang ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa
Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi. Lebih-lebih
setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar
Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, maka salah satu jalur dagang laut antara
timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis
sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi.
2.
Bidang ilmu
pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal
sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan
Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di
majlis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar
Al-Din Al-Syaerazi filosof, dan Muhammad Bakir Ibn Muhammad Damad, filosof,
ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai
kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat
dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang
sama.
3.
Bidang
pembangunan fisik dan seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil
menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota
tersebut berdiri bangunan-bangunan besar dan indah. Seperti masjid, rumah
sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil
Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata
secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 Akademi,
1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Di bidang seni, kemajuan nampak dalam gaya
arsitektur bangunan-bangunannya. Seperti terlihat pada masjid Shah yang
dibangun tahun 1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M.
unsure seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya.
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. raja Ismail I pada tahun 1522
M membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhad.[7]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1 Asal-Usul Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berdiri sejak tahun 1503-1722
M. Kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat syafawiyah,
yang diambil dari nama pendirinya, yaitu Safi Al-Din. Dan nama Safawi terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu
terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan.
Safi Al-Din berasal dari keturunan orang yang
berada dan memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah
yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi
(1216-1301 M.) yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani. Karena prestasi dan
ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din diambil menantu oleh gurunya
tersebut.
Safi al-Din mendirikan tarekat Safawiyah
setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M.
Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan
tasawuf safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi
golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah“. Tarekat yang dipimpin sufi
Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk tarekat itu
dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang
besar pengaruhnya di Persia, Syiria, dan Anatolia. Di negeri-negeri diluar
Ardabil, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya.
Wakil itu diberi gelar “khalifah”.
1.
Bidang ekonomi
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa
Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi. Lebih-lebih
setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar
Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini, maka salah satu jalur dagang laut antara
timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda, Inggris, dan Perancis
sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi.
2.
Bidang ilmu
pengetahuan
Dalam sejarah Islam bangsa Persia dikenal
sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa kerajaan
Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di
majlis istana, yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar
Al-Din Al-Syaerazi filosof, dan Muhammad Bakir Ibn Muhammad Damad, filosof,
ahli sejarah, teolog, dan seorang yang pernah mengadakan observasi mengenai
kehidupan lebah-lebah. Dalam bidang ini, kerajaan Safawi mungkin dapat
dikatakan lebih berhasil dari dua kerajaan besar Islam lainnya pada masa yang
sama.
3.
Bidang
pembangunan fisik dan seni
Para penguasa kerajaan ini telah berhasil
menciptakan Isfahan, ibu kota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota
tersebut berdiri bangunan-bangunan besar dan indah. Seperti masjid, rumah
sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil
Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata
secara apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 Akademi,
1802 penginapan, dan 273 pemandian umum.
Di bidang seni, kemajuan nampak dalam gaya
arsitektur bangunan-bangunannya. Seperti terlihat pada masjid Shah yang
dibangun tahun 1611 M dan masjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M.
unsur seni lainnya terlihat pula dalam bentuk kerajinan tangan, keramik,
karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya.
Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Tahmasp I. raja Ismail I pada tahun 1522
M membawa seorang pelukis timur ke Tabriz. Pelukis itu bernama Bizhad.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Yatim, Badri.
2013. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
[1] Dedi Supriyadi, M.Ag. Sejarah Peradaban Islam (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hal. 254
[2] Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah
II) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 138
[3] Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah
II) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 139
[4] Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah
II) (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 141
[5] Ibid, hal. 142
[6] Ibid, hal. 144
[7] Ibid, hal. 145
Komentar
Posting Komentar